Rabu, 16 Mei 2012

Sentralisasi dan Desentralisasi

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sentralisasi dan Desentralisasi
Dalam  manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara dalam sistem desentralisasi, wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua sistem tersebut dalam prakteknya tidak berlaku secara ekstrem, tetapi dalam bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal). Hal ini juga berlaku dalam manajemen pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan UUSPN 1989 bahwa pendidikan nasional diatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi). Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan pendidikan tersebut memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.
Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai sentralisasi dan desentralisasi:
1.      Konsep Dasar Sentralisasi Pendidikan
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Dalam era reformasi dewasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti : kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan pusat.
Kalau hal ini terjadi maka konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit dihindari. Dalam sejarah konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya – upaya pemisahan diri yang tentunya mengancam disintegrasibangsa.
Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah naungan NKRI. Masalah sinkronisasi dan koordinasi kebijakan pendidikan dan upaya membina generasi muda yang berorientasi memperkuat integrasi bangsa menjadi fokus dalam makalah.
2.      Konsep Dasar Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995.Menurut UU No.22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :
a.    Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.
b.    Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.
c.    Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.
d.   Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
e.    Mengakomodasi kepentingan poloitik.
f.     Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.
Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah antara lain :
a.         Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
b.         Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan.dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikandan pemerintah pusat kedaerah otonom, yang menempatkan kabupaten / kota sebagai sentra desentralisasi.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi.
Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat.Desentralisasi pendidikan suatu keharusan Rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai kehidupan masyrakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat (civil rights). Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu masyarakat demokrasi yang mengakui akan kebebasan individu yang bertanggungjawab. Pada masa orde baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.
Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang tersebut dan otoriter sehingga tidak mengakui akan hak-hak daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk kepentingan segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun telah melahirkan suatu rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada pemerintah. Lahirlah gerakan separtisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi daerah ialah desentralisasi pendidikan nasional. Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan peningkatan daya saing bangsa ( H.A.R Tialar, 2002).
1.      Masyarakat Demokrasi
Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat madani (civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui hak-hak asasi manusia. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintah dalam masyrakat madani adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih (good and clean governance).
2.      Pengembangan “Social Capital”
Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital hanya bias diraih dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebassan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu, desntralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
3.      Pengembangan Daya saing
Di dalam suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi yang optimal dalam pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi di dalam kerja sama. Di dalam suatu masyarakat yang otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter.
Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan menibkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya saing seseorang atau suatu masysrakat. Faktor-fator tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru, dan inovasi.
B.     Perlunya Desentralisasi Pendidikan
Mengapa perlu desentralisasi pendidikan?
Berbagai studi tentang desentalisasi menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim, mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah tidak bisa dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Maka sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management).
Dalam bidang pendidikan, desentralisasi mengandung arti sebagai pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat pengelolaan pendidikan yang ada didaerah baik pada tingkat provinsi maupun lokal, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk menigkatkan efisiensi kerja dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Dalam manajemen pendidikan dasar, desentralisasi memang dapat melemahkan tumbuhnya perasaan nasional yang sehat, dapat menimbulkan rasa kedaerahaan yang berlebihan, serta akan menjurus kepada isolasi dan pertentangan. Namun, dengan pengakuan dan kesepakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bangsa dan negara, kecenderungan separatisme dapat dikurangi dan ditekan seminimal mungkin.
Banyak pakar dan pemerhati pendidikan menyumbangkan pikirannya untuk mengkaji model MBS yang cocok dengan kondisi negeri ini. Namun jarang sekali yang menyinggung masalah isi (content) yang tak lain merupakan hakikat desentralisasi itu sendiri. Hakikat desentralisasi pendidikan adalah “apa dan kepada siapa” (what and to whom) dan bukan aturan-aturannya (regulation).
Menurut Wohlstetter dan Mohrman (1993) terdapat empat sumber daya yang harus didesentralisasikan yaitu power/authority, knowledge, information dan reward. Pertama, kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung yaitu melalui dewan sekolah. Sedikitnya terhadap tiga bidang penting yaitu budget, personnel dan curriculum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemperhentian kepala sekolah, guru dan staff sekolah.
Kedua, pengetahuan (knowledge) juga harus didesentralisasikan sehingga sumberdaya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi : keterampilan yang terkait dengan pekerjaan secara langsung (job skills), keterampilan kelompok (teamwork skills) dan pengetahuan keorganisasian (organizational knowledge). Keterampilan kelompok diantaranya adalah pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan keterampilan berkomunikasi. Termasuk dalam pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman lingkungan dan strategi merespon perubahan.
Ketiga, hakikat lain yang harus didensentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus didistribusikan ke seluruh constituent sekolah bahkan ke seluruh stakeholder. Apa yang perlu disebarluaskan? Antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah, kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran informasi bisa secara vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan.
Keempat, pengaharhaan (reward) adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Penghargaan bisa berupa fisik maupun non-fisik yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang. Penghargaan non-fisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar atau konferensi dan penataran.
Dengan mendesentralisasikan empat bidang tersebut diharapkan tujuan utama MBS akan tercapai. Tujuan utama MBS tak lain adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik.
Implikasi desentralisasi manajemen pendidikan adalah kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan sesuia dengan potensi dan kebutuhan daerahnya; perubahan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan efisiensi serta efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah; kepegawaian yang menyangkut perubahan dan pemberdayaan sumber daya manusia ynag menekankan pada profesionalisme; serta perubahan anggaran-anggaran pembangunan pendidikan (DIP) yang dikelola langsung dari BKPN (Bappenas) ke kabupaten dalam bentuk block grand sehingga menhilangkan ketakutan dan pngotakkan dalam penanganan anggaran (BPPN dan Bank Dunia, 1999).
Desentralisasi pengelolaan sekolah perlu diletakkan dalam rangka mengisi kebhinekaan dalam wadah negara kesatuan yang dijiwai oleh rasa persatuan dan kesatuan bangsa; bukan berdasarkan kepentingan kelompok dan daerah secara sempit. Pelaksanaan desentralisasi dalam pengelolaan sekolah memerlukan kesiapan berbagai perangkat pendukung di daerah. Sedikitnya terdapat empat hal yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan desentralisasi berhasil, yaitu:
a.         Peraturan perundang-undangan yang mengatur desenralisasi pendidikan dari tingkat daerah, provinsi sampai tingkat kelembagaan.
b.         Pembinaan kemampuan daerah.
c.         Pebentukan perencanaan unit yang bertanggung jawab untuk menyusun perencanaan penddikan.
d.        Perangkat sosial, berupa kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi tersebut.
Dari beberapa pengalaman di negara lain, kegagalan desentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :
a.         Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
b.        Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
c.         Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
d.        Sumber daya manusia yang belum memadai.
e.         Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
f.         Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
g.        Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehilangan otoritasnya.
Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilannya antara lain :
a.         Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
b.        Mampu membangun partisipasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.
c.         Mampu menyelenggarakan pendidikan dengan memfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.

C.     Kekuatan dan Kelemahan Sentralisasi Pendidikan
Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, seba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya bai kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya,posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti :
                  1.          Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan
                  2.          Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
                  3.          Keseragaman pola pembudayaan masyarakat.
                  4.          Melemahnya kebudayaan daerah.
                  5.          Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, makaupaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.

    D.            Kekuatan dan Kelemahan Desentralisasi Pendidikan
Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal, yaitu :
             1.          Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
             2.          Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
             3.          Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
             4.          Sumber daya manusia yang belum memadai.
             5.          Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
             6.          Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
             7.          Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
             1.          Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah,antar sekolah antar individu warga masyarakat.
             2.          Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.
             3.          Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.
             4.          Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotendsi akan menurunkan pendidikan.
             5.          Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan.
             6.          Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
             7.          Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.
Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan tersebut di atas, disentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
                  1.     Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana pemersatu bangsa.
                  2.     Masa transisi benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.
                  3.     Adanya kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan pendidikan.
                  4.     Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
                  5.     Pemahaman pemerintah daerah maupunDPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
                  6.     Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat lainnya.
                  7.     Adanya keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.
Selain dampak negatif tentu saja disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :
            1.           Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
            2.           Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar0benar dari oleh dan untuk masyarakat.
            3.           Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.


Proses Pengembangan Kurikulum

BAB II
PEMBAHASAN
                                                                                     
    A.            Hakikat Pengembangan Kurikulum
            Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa yunani, yaitu Curir yang berarti berlari dan curere yang artinya tempat berpacu. Dengan demikian, istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zama Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian jarak yang harus ditempuh pelari dari garis start sampai garis finish. Selanjutnya, istilah kurikulum ini digunakan dalam dunia pendidikan dan mengalami perubahan makan sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang ada pada dunia pendidikan. Secara garis besar, kurikulum dapat diartikan sebagai perangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan pendidikan yang akan dicapai yang di dalamnya tidak hanya mengandung rumusan tujuan yang harus dicapai, tetapi juga pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap anak didik. Begitu pentingnya fungsi dan peran kurikulum dalam menentukan keberhasilan pendidikan, karena itu kurikulum harus dikembangkan dengan fondasi yang kuat.
Pengembangan kurikulum pada hakekatnya adalah proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimana cara mempelajarinya. Namun demikian, persoalan mengembangkan kurikulum bukan merupakan hal yang sederhana dan mudah. Menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai, sedangkan menentukan tujuan yang ingin dicapai erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan masyarakat.
David Pratt (1980) mengemukakan bahwa istilah lebih mengena dibandingkan dengan pengembangan yang mengandung konotasi bersifat grradual. Desain adalah proses yang disengaja tentang suatu pemikiran , perencanaan dan penyeleksian bagian-bagian, tehnik dan prosedur yang mengatur suatu tujuan atau usaha. Dengan pengertian tersebut, pengembangan kurikulum diartikan sebagai proses atau kegiatan yang disengaja dan dipikirkan untuk menghasilkan sebuah kurikulum sebagai pedoman dalam proses dan penyelenggaraan pembelajaran oleh guru di sekolah.
Seller dan Miller (1985) mengemukakan bahwa proses pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, yang meliputi Orientasi, pengembangan, implementasi, dan evaluasi. Seller memandang bahwa pengembangan kurikulum harus dimulai dari menentukan orientasi, yakni kebijakan-kebijakan umum meliputi enam aspek : tujuan pendidikan, pandangan tentang anak, pandangan tentang proses pembelajaran, pandangan tentang lingkungan , konsepsi tentang peranan guru, dan evaluasi. Berdasarkan orientasi selanjutnya dikembangkan kurikulum menjadi pedoman pembelajaran, diimplementasikan dalam bentuk proses pembelajaran dan dievaluasi. Hasil evaluasi tersebut kemudian dijadikan bahan dalam menentukan orientasi, begitu seterusnya, hingga membentuk siklus.
Dari pendapat Seller tersebut, pengembangan kurikulum pada hakekatnya adalah pengembangan komponen-komponen yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri serta pengembangan komponen pembelajaran. Dengan demikian maka pengembangan kurikulum memiliki dua sisi yang sama penting. Satu sisi sebagai pedoman yng kemudian membentuk kurikulum tertulis (written curriculum atau document curriculum) dan sisi kurikulum sebagai implementasi (curriculum implementation) yaitu sistem pembelajaran.
Proses pengembangan memiliki pengertian berbeda dengan perubahan dan pembinaan kurikulum. Perubahan kurikulum merupakan kegiatan atau proses yang disengaja manakala berdasarkan hasil evaluasi ada salah satu atau beberapa komponen yang harus diperbaiki atau diubah, sedangkan pembinaan adalah proses untuk mempertahankan dan menyempurnakan kurikulum yang sedang dilaksanakan. Dengan demikian pengembangan menunjuk pada proses merancang sedangkan pembinaan adalah implementasi dari hasil pengembangan.
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa pengembangan dan pembinaan kurikulum merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan, pengembangan dan implementasi merupakan dua sisi yang harus berjalan seiring sejalan. Makna kurikulum akan dapat dirasakan manakala diimplementasikan, implementasi akan semakin terarah manakala sesuai dengan kurikulum rencana, dan selanjutnya hasil implementasi tersebut selanjutnya akan memberikan masukan untuk penyempurnaan rancangan. Inilah hakekat pengembangan kurikulum yang selalu berputar, berjalan, dan membentuk suatu siklus.
            Kurikululm dalam Pendidikan Islam, menurut O.M.T Syaibany, merupakan suatu jalan terang yang dilalui pendidik terhadap anak didik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka. Kurikulum dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan kata Manhaj (kurikulum) yang bermakna jalan yang terang atau jalan teerang yang dilalui manusia diberbagai bidang kehidupanya.
            Hakikat kurikulum adalah suatu program yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan tertentu. kurikulum pada dasarnya ditujukan untuk mengantarkan anak didik pada tingkatan pendidikan, perilaku dan intelektual yang diharapkan membawa meeka pada sosok anggota masyarakat yang berguna bagi bangsanya.
            Kurikulum Pendidikan islam mengandung makna sebagai suatu rangkaian program yang mengarahkan kegiatan belajar mengajar yang terencana dengan sistematis dan berarah tujuan, serta menggambarkan cita-cita ajaran Islsam. Dlam definisi luas , kurikulum pendidikan Islam berisikan materi untuk pendidikan seumur hidup dan yang menjadi materi pokok kurikulum Pendidikan Islam adalah bahan-bahan, aktivitas, dan pengalaman yang mengandung unsure ketauhidan.
            Dari pemahaman mengenai kurikulum diatas, dapat dideskripsikan secara spesifik bahwa :
1.            Kurikulum merupakan maksud dan rencana.
2.            Kurikulum merupakan rencana kegiatan bukan aktivitas
3.            Kurikulum berisi berbagai maksud. Misalnya, hal apa yang dipelajari perserta didik untuk bisa berkembang, ada alat evaluasi untuk menilai hasil kegiatan belajar.
4.            Kurikulum meliputi maksud-maksud formal, yang dipilih secara teliti untuk   meningkatkan hasil belajar.
5.            Kurikulum merupakan suatu system, yakni adanya seperangkat komponen ( tujuan, isi, proses belajar mengajar dan lain-lain ) yang bersifat satu kesatuan yang erat.
6.            Pendidikan dan latihan menunjukkan batasanya masing-masing untuk menghindari kesalahan pengertian yang terjadi, apabila salah satu hal tersebut dikemukakan
7.            Kurikulum memiliki prediksi dan jangkauan ke depan, maksudnya isi kurikulum menggambarkan adaya upaya antisipasi berbagai kebutuhan anak didik dan persiapan masa depan anak didik.
Pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan pengembangan komponen – komponen kurikulum yang membentuk system kurikulum itu sendiri,yaitu komponen: tujuan, bahan, metode, peserta didik, pendidik, media, lingkungan, sumber belajar dan lain-lain. Komponen – komponen kurikulum tersebut harus dikembangkan agar tujuan pendidikan dapat dicapai sebagaimana mestinya.
Terdapat suatu rangkaian tujuan pendidikan yang bersifat hirarkis dan menjadi suatu system yang mana tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan instruksional. Saling terkait erat untuk mencapai tujuan pendidikan yang di inginkan.

     B.            Definisi Pengembangan Kurikulum
Pada dasarnya pengembangan kurikulum adalah mengarahkan kurikulum sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan karana adanya berbagai pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dari dalam sendiri dengan harapan agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik.
Definisi lain menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen situasi belajar mengajar antara lain penetapan jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber, dan alat pengukur pengembanagn kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum lainnya untuk memudahkan proses belajar mengajar.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik dalam pengembangan kurikulum:
1.      Rencana kurikulum harus dikembangkan dengan tujuan (goals dan general objectifes) yang jelas.
2.      Suatu progam atau kegiatan yang dilaksanakan di sekolah merupakan bagian dari kurikulum yang dirancang selaras dengan prosedur pengembangan kurikulum.
3.      Rencana kurikulum yang baik dapat menghasilkan terjadinya proses belajar yang baik karena berdasarkan kebutuhan dan minat siswa.
  1. Rencana kurikulum harus mengenalkan dan mendorong difersitas diantara para pelajar.
  2. Rencana kurikulum harus menyiapkan semua aspek situasi belajar mengajar, seperti tujuan konten, aktifitas, sumber, alat pengukuran, penjadwalan, dan fasilitas yang menunjang.
  3. Rencana kurikulum harus dikembangkan dengan karakteristik siswa pengguna.
  4. The subject Arm Approach adalah pendekatan kurikulum yang banyak di gunakan di sekolah.
  5. Rencana kurikulum harus memberikan fleksibilitas untuk memungkinkan terjadinya perencanaan guru – siswa .
  6. Rencana kurikulum harus memberikan fleksibilitas yang memungkinkan masuknya ide-ide spontan selama terjadinya interaksi antara guru dan siswa dalam situasi belajar yang khusus.
  7. Rencana kurikulum sebaiknya merefleksikan keseimbangan antara kognitif,  afektif, dan psikomotorik.
Beauchamp mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan teori kurikulum yaitu, ( Ibrahim, 2006 ) :
1.      Setiap teori kurikulum harus dimulai dengn perumusan tentang rangkaian kejadian yang dicakupnya.
2.      Setiap teori kurikulum harus mempunyai kejelasan tentang nilai – nilai dan sumber-sumber yang menjadi titik tolaknya.
3.      Setiap teori kurikulum perlu menjelaskan karakteristik desain kurikulumnya.
4.      Setiap teori kurikulum harus menggambarkan proses-proses penentuan kurikulum serta interaksi diantara proses tersebut.
5.      Setiap teori kurikulum hendaknya mempersiapkan ruang untuk dilakukannya proses penyempurnaan.
Pada akhirnya, berbagai factor di atas mempunyai factor yang signifikan terhadap pembuatan keputusan kurikulum.

    C.            Kerangka Pengembangan Kurikulum
Pengembanagnn kurikulum harus mengacu pada sebuah kerangka umum, yang berisikan hal – hal yang diperlukan dalam pembuatan keputusan.
1.            Asumsi
Asumsi yang digunakan dalam pengembangan kurikulum ini menekankan pada keharusan pengembangan kurikulum yang telah terkonsep dan diinterpretasikan dengan cermat, sehingga upaya-upaya yang terbatas dalam reformasi pendidikan, kurikulum yang tidak berimbang, daninovasi jangka pendek dapat di hindarkan.
Dalam konteks ini, kurikulum didefisinisikan sebagai suatu rencana untuk mencapai hasil- hasil yang diharapkan, atau dengan kata lain suatu rencana mengenai tujuan, hal yang dipelajari, dan hasil pembelajaran. Dengan demikian, kurikulum teridiri atas beberapa komponen, yaitu hasil belajar dan struktur ( sekuens berbagai kegiatan belajar ).
2.            Tujuan pengembangan kurikulum
Istilah yang digunakan untuk menyatakan tujuan pengembangan kurikulum adalah goals dan objectives. Tujuan sebagai goals dinyatakan dalam rumusan yang lebih abstrak dan bersifat umum, dan pencapaianya relative dalam jangka panjang. Adapun tujuan sebagai objectives lebih bersifat khusus, operasional, dan pencapaianya dalam jangka pendek.
Aspek tujuan, baik yang dinyatakan dalam goals maupun objectives memainkan peran yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Tujuan berfungsi untuk menentukan arah seluruh upaya kependidikan sekolah sekaligus  menstimulasi kualitas yang diharapkan. Tujuan pendidikan pada umumnya berdasarkan pada filsafat yang dianut atau yang mendasari pendidikan tersebut.
3.            Penilaian kebutuhan
Kebutuhan merupakan hal  yang pokok dalam perencanaan ( Unruh dan Unruh, 1984 ). Dalam kaitanya dengan pengembangan kurikulum dan pembelajaran, kebutuhan didefinisikan sebagai perbedaan antara keadaan actual dan keadaan ideal yang dicita-citakan. Penilaian kebutuhan adalah prosedur, baik secara terstruktur maupun informal, untuk mengidentifikasi kesenjangan antara situasi “ di sini dan sekarang “ dengan tujuan yang di harapkan.
4.            Konten kurikulum
Berkaitan dengan konten kurikulum ini, Unruh (1984) hanya membahas enam bidang konten kurikulum akademik untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, Sains (IPA), Studi Sosial (IPS), Bahasa Asing dan Seni. Meskipun demikian, hendaknya kurikulum juga memberikan ruang bagi pelajaran lain selain keenam bidang konten tersebut antara lain pendidikan jasmani dan kesehatan, pendidikan agama dan berbagai pelajaran keterampilan lain yang dibutuhkan siswa.
5.            Sumber materi kurikulum
Materi kurikulum dapat diperoleh dari buku-buku teks, buku petunjuk bagi guru, pusat pendidikan guru, kantor konsultan kurikulum, departemen pendidikan dan agen pelayanan pendidikan lainnya.
6.            Implementasi kurikulum
Sebuah kurikulum yang telah dikembangkan tidak akan berarti jika tidak diimplementasikan, dalam arti digunakan di sekolah dan di kelas. Keberhasilan implementasi terutama ditentukan oleh aspek perencanaan dan strategi implementasinya. Pada prinsipnya, implementasi ini mengintegrasikan aspek-aspek filosofis, tujuan, subject matter, strategi mengajar dan kegiatan belajar, serta evaluasi dan feedback.
7.            Evaluasi kurikulum
Evaluasi adalah suatu proses interaksi, deskripsi dan pertimbangan (judgment) untuk menemukan hakikat dan nilai dari suatu hal yang dievaluasi, dalam hal ini yaitu kurikulum. Evaluasi kurikulum sebenarnya dimaksudkan untuk memperbaiki substansi kurikulum, prosedur implementasi, metode instruksional, serta pengaruhnya pada belajar dan perilaku siswa.
8.            Keadaan di masa mendatang
Pesatnya perubahan dalam kehidupan social, ekonomi, teknologi, politik serta berbagai peristiwa lainnya memaksa kita semua berfikir dan merespon setiap perubahan yang terjadi. Dalam pemngembangan kurikulum, pandangan dan kecenderungan pada kehidupan masa datang sudah menjadi hal yang urgen. Setiap rencana pengembangan kurikulum harus memasukkan pertimbangan kehidupan di masa depan, serta implikasinya pada perencanaan kurikulum.

    D.            Sumber Daya Manusia (SDM) Pengembangan Kurikulum
Sumber Daya Manusia (SDM) pengembangan kurikulum adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki oleh setiap pengembang kurikulum dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Sumber daya manusia tersebut terdiri atas berbagai pakar ilmu pendidikan, administrator pendidikan, guru, ilmuwan, orang tua, siswa, dan tokoh masyarakat.
Unsur ketenagaan tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu tenaga professional dan tenaga dari masyarakat. Tenaga professional meliputi tenaga kependidikan guru, tenaga kependidikan non-guru dan organisasi professional. Adapun tenaga dari masyarakat meliputi tokoh masyarakat, orang tua, komite sekolah atau dewan sekolah, pihak industry dan bisnis, lembaga social masyarakat, instansi pemerintah atau departemen dan non-departemen, serta unsur-unsur masyarakat yang berkepentingan terhadap pendidikan.
Dalam proses pengembangan kurikulum, keterlibatan unsur-unsur ketenagaan tersebut sangat penting, karena keberhasilan suatu system dan tujuan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama pada semua tahapan kurikulum. Berikut ini adalah deskripsi tugas dan wewenang pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan kurikulum.
  1. Pakar-pakar ilmu pendidikan
Spesialis para pengembang kurikulum bertugas untuk:
a.       Duduk sebagai anggota panitia atau sponsor.
  1. Mengajukan gagasan dan berbagai masukan yang diperlukan oleh panitia pengembang kurikulum.
  2. Melakukan penelitian dalam bidang pengembangan kurikulum.
  3. Menyusun buku sumber yang dibutuhkan sesuai dengan kurikulum yang dikembangkan.
  4. Memberikan pelatihan dan konsultasi bagi para pengembang kurikulum.
  5. Administrator pendidikan
Administrator pendidikan merupakan sumber daya manusia yang berada pada tingkat pusat, propinsi, kota atau kabupaten dan juga kepala sekolah.
  1. Administrator di tingkat pusat memiliki wewenang dan kepemimpinan untuk mengarahkan orang serta bertanggungjawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai tujuan yaitu dalam penyusunan kerangka kurikulum, dasar hokum dan program inti yang selanjutnya dapat ditetapkan jenis dan jumlah mata pelajaran minimal yang diperlukan. Administrator di tingkat pusat bekerja sama dengan para pakar dari perguruan tinggi untuk merumuskan isi dan materi kurikulum sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing.
  2. Administrator di tingkat daerah bertugas berdasarkan kerangka dasar dan program inti dari tingkat pusat. Mereka kemudian melakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhannya. Administrator tingkat daerah memiliki wewenang merumuskan system operasional pendidikan bagi sekolahnya. Mereka berkewajiban mendorong dan mengimplementasikan kurikulum pada setiap sekolah. Selanjutnya bekerja sama dengan kepala sekolah dan guru-guru dalam pengembangan kurikulum di sekolah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melakukan sosialisasi dan melaksanakan kurikulum di sekolah tersebut.
3.      Kepala sekolah dan guru memegang peranan yang sangat besar dan merupakan kunci keberhasilan pengembangan kurikulum karena mereka berkaitan langsung dengan implementasi kurikulum.
Guru merupakan titik sentral dalam pengembangan kurikulum karena guru sebagai ujung tombak pelaksanaan di lapangan. Pengembangan kurikulum bertolak dari kelas. Oleh karena itu, guru hendaknya memiliki gagasan kreatif dan melakukan uji coba kurikulum di kelasnya sebagai fase penting dan sebagai unsur penunjang administrasi secara keseluruhan.
Orang tua Sebagai stakeholder dalam penyusunan kurikulum, hanya beberapa saja dari orang tua yang dilibatkan yaitu mereka yang memiliki latar belakang memadai. Mengingat sebagian kegiatan belajar yang dituntut kurikulum dilaksanakan di rumah, maka sangat diperlukan adanya kerjasama yang erat antara guru atau sekolah dengan orang tua siswa.
Siswa sebagai obyek dari penerapan kurikulum hendaknya selalu diberi motivasi dalam belajar dan dibimbing dalam berpartisipasi melalui kegiatan ekstra di sekolah untuk meningkatkan kualitas siswa.
     E.            Proses Pengembangan Kurikulum
Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai faktor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum.
Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at it’s moment in history.
Implementasi adalah proses kurikulum yang lebih rumit dibandingkan konstruksi kurikulum. Dalam implementasi berabagai factor berpengaruh terhadap implementasi. Factor – factor tersebut dapat berupa factor pendukung untuk keberhasilan seperti manajemen sekolah yang baik, kontribusi komite sekolah, sikap masyarakat, semangat dan dedikasi guru serta fasilitas belajar yang memenuhi syarat serta ketersediaan dana yang diperlukan. Evaluasi merupakan fase pengembangan kurikulum yang cukup rumit. Sebenarnya dalam suatu prosedur pengembangan standar, evaluasi dilakukan sejak awal pengembangan kurikulum.
Pada saat kini proses pengembangan kurikulum di Indonesia mengikuti kebijakan yang diundangkan dalam UU nomor 20 tahun 2003, PP nomor 19 tahun 2005 dan permen nomor 22, 23 dan 24 tahun 2006. Berdasarkan ketetapan tersebut maka proses pengembangan kurikulum di Indonesia mengikuti dua langkah besar yaitu proses pengembangan yang dilakukan di Pemerintah Pusat dan pengembangan yang dilakukan disetiap satuan pendidikan.
            Pengembangan yang paling menjadi focus perhatian adalah pengembangan tingkat sekolah. Pada tingkat ini sekolah tetap  harus memperhatikan kebutuhan dan tantangan masyarakat yang dilayaninya, menerjemahkan tantangan tersebut dalam kemampuan yang harus dimilki peserta didik. Pengembangan pada tingkat ini menghasilkan apa yang disebut dengan kurikulum Sekolah atau kurikulum Tingkat satuan Pendidikan ( KTSP ).
1.         Pengembangan Kurikululum Sekolah
Proses pengembangan kurikulum Sekolah dikembangkan berdasarkan landasan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Landasan Legal  nya adalah UU nomor 20 tahun 2003, setelah UU nomor 20 tahun 2003 berlaku, wewenang  mengembangkan, mengelola dan melaksanakan pendidikan tidak lagi sepenuhnya menajadi tanggung jawab Pemerintah Pusat tetapi sudah berbagi dengan pemerintah daerah. System pendidikan yang dibangun oleh UU nomor 20 tahun 2003 merupakan konsekuensi dari perubahan system pemerintahan sentralistis ke otonomi daerah dimana pendidikan adalah aspek pelayanan pemerintahan pusat yang didelegasikan ke pemerintah daerah.
2. Sedangkan landasan Filosofis dan teoritisnya bagi pengembangan kurikulum sekolah adalah :
a)      Kurikulum harus dimulai dari lingkungan terdekat.
b)      Kurikulum harus mampu melayani pencapaian tujuan pendidikan nasional dan tujuan satuan pendidikan. Kurikulum sekolah harus mampu mengorganisasikan kepentingan peserta didik, masyarakat terdekat dan bangsa dalam satu dimensi.
c)      Model kurikulum harus sesuai dengan ide kurikulum.
d)     Proses pengengembangan kurikulum harus bersifat fleksibel dan komprehensif. Kurikulum sekolah harus bersifat terbuka untuk penyempurnaan.