BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sentralisasi dan Desentralisasi
Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme
pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem
sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan
diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara dalam sistem
desentralisasi, wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah
daerah. Kedua sistem tersebut dalam prakteknya tidak berlaku secara ekstrem,
tetapi dalam bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal). Hal ini juga berlaku dalam
manajemen pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan
UUSPN 1989 bahwa pendidikan nasional diatur secara terpusat (sentralisasi),
namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak
terpusat (desentralisasi). Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dan mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan pendidikan
tersebut memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.
Berikut ini penjelasan lebih lanjut
mengenai sentralisasi dan desentralisasi:
1. Konsep Dasar
Sentralisasi Pendidikan
Sentralisasi adalah seluruh wewenang
terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU.
Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada
sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur
organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah.
Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan
pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat
sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Dalam era reformasi dewasa ini,
diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi
kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke
daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi
daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah
itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan
prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi.
Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti : kesulitan
pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat
mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini
dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali
pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga
daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun
sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan pusat.
Kalau hal ini terjadi maka konflik
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit dihindari. Dalam sejarah
konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya – upaya pemisahan
diri yang tentunya mengancam disintegrasibangsa.
Dengan perkataan lain apabila
kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya
sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat
mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara
bagaimana agar kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan
koordinasi. Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda
untuk tetap memiliki komitmen yang kuat dibawah naungan NKRI. Masalah sinkronisasi
dan koordinasi kebijakan pendidikan dan upaya membina generasi muda yang
berorientasi memperkuat integrasi bangsa menjadi fokus dalam makalah.
2. Konsep Dasar
Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi di Indonesia sudah
ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5
tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat
pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun
1995.Menurut UU No.22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang
yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom.
Beberapa alasan yang mendasari
perlunya desentralisasi :
a.
Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara
lebih luas.
b.
Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.
c.
Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang
sehinmgga dapat meningkatkan efisiensi.
d.
Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah
secara optimal.
e.
Mengakomodasi kepentingan poloitik.
f.
Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih
kompetitif.
Desentralisasi Community Based
Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah
antara lain :
a.
Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur
oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah,
termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
b.
Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan
pendidikan.dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikandan
pemerintah pusat kedaerah otonom, yang menempatkan kabupaten / kota sebagai
sentra desentralisasi.
Desentralisasi adalah pendelegasian
wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level
bawah (daerah). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan
sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang
memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang
tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini
adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di
daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini
adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya
menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk
keuntungan para oknum atau pribadi.
Hal ini terjadi karena sulit
dikontrol oleh pemerinah pusat.Desentralisasi pendidikan suatu keharusan
Rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru
mengenai kehidupan masyrakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat (civil rights).
Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu masyarakat demokrasi yang
mengakui akan kebebasan individu yang bertanggungjawab. Pada masa orde baru
hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.
Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah
yang tersebut dan otoriter sehingga tidak mengakui akan hak-hak daerah.
Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk kepentingan
segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun telah melahirkan
suatu rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada pemerintah. Lahirlah gerakan
separtisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu
tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan otonomi daerah ialah
desentralisasi pendidikan nasional. Ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi
desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan
sosial capital, dan peningkatan daya saing bangsa ( H.A.R Tialar, 2002).
1. Masyarakat Demokrasi
Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat
madani (civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui
hak-hak asasi manusia. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka
dimana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung
jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintah dalam masyrakat madani
adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat
sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih (good and
clean governance).
2.
Pengembangan “Social Capital”
Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998,
menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang
menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi.
Demokrasi sebagai social capital hanya bias diraih dan dikembangkan melalui
proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses
belajar yang tidak menghargai akan kebebassan berpikir kritis tidak mungkin
menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi
tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka.
Oleh sebab itu, desntralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses
pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus
berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya
rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi
berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
3.
Pengembangan Daya saing
Di dalam suatu masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi
yang optimal dalam pengembangan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam
kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing yang tinggi di dalam
kerja sama. Di dalam suatu masyarakat yang otoriter dan statis, daya saing
tidak mempunyai tempat. Oleh sebab itu, masyarakat akan sangat lamban
perkembangannya. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap
masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari masyarakat otoriter.
Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan
saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama
yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah
menjadi suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing
dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu
masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus
memperbaiki diri dan menibkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan
tingkat daya saing seseorang atau suatu masysrakat. Faktor-fator tersebut adalah
intelegensi, informasi, ide baru, dan inovasi.
B. Perlunya Desentralisasi Pendidikan
Mengapa
perlu desentralisasi pendidikan?
Berbagai studi tentang desentalisasi
menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim,
mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah
tidak bisa dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi
sekolah yang selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak
masalah. Maka sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus
didesentralisasikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah
Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management).
Dalam bidang pendidikan,
desentralisasi mengandung arti sebagai pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada
aparat pengelolaan pendidikan yang ada didaerah baik pada tingkat provinsi
maupun lokal, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk menigkatkan efisiensi kerja
dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Dalam manajemen pendidikan dasar,
desentralisasi memang dapat melemahkan tumbuhnya perasaan nasional yang sehat,
dapat menimbulkan rasa kedaerahaan yang berlebihan, serta akan menjurus kepada
isolasi dan pertentangan. Namun, dengan pengakuan dan kesepakatan untuk
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bangsa dan negara, kecenderungan
separatisme dapat dikurangi dan ditekan seminimal mungkin.
Banyak pakar dan pemerhati
pendidikan menyumbangkan pikirannya untuk mengkaji model MBS yang cocok dengan
kondisi negeri ini. Namun jarang sekali yang menyinggung masalah isi (content)
yang tak lain merupakan hakikat desentralisasi itu sendiri. Hakikat
desentralisasi pendidikan adalah “apa dan kepada siapa” (what and to whom) dan
bukan aturan-aturannya (regulation).
Menurut Wohlstetter dan Mohrman
(1993) terdapat empat sumber daya yang harus didesentralisasikan yaitu
power/authority, knowledge, information dan reward. Pertama,
kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke
sekolah-sekolah secara langsung yaitu melalui dewan sekolah. Sedikitnya
terhadap tiga bidang penting yaitu budget, personnel dan curriculum. Termasuk
dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemperhentian kepala sekolah,
guru dan staff sekolah.
Kedua,
pengetahuan (knowledge) juga harus didesentralisasikan sehingga sumberdaya
manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja
sekolah. Pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi : keterampilan
yang terkait dengan pekerjaan secara langsung (job skills), keterampilan
kelompok (teamwork skills) dan pengetahuan keorganisasian (organizational
knowledge). Keterampilan kelompok diantaranya adalah pemecahan masalah,
pengambilan keputusan dan keterampilan berkomunikasi. Termasuk dalam
pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman lingkungan dan strategi merespon
perubahan.
Ketiga, hakikat
lain yang harus didensentralisasikan adalah informasi (information). Pada model
sentralistik informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS
harus didistribusikan ke seluruh constituent sekolah bahkan ke seluruh
stakeholder. Apa yang perlu disebarluaskan? Antara lain berupa visi, misi,
strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isu-isu
sekitar sekolah, kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran informasi
bisa secara vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan.
Keempat,
pengaharhaan (reward) adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan.
Penghargaan bisa berupa fisik maupun non-fisik yang semuanya didasarkan atas
prestasi kerja. Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang.
Penghargaan non-fisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan,
mengikuti seminar atau konferensi dan penataran.
Dengan mendesentralisasikan empat
bidang tersebut diharapkan tujuan utama MBS akan tercapai. Tujuan utama MBS tak
lain adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja
belajar siswa menjadi lebih baik.
Implikasi desentralisasi manajemen
pendidikan adalah kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan
kota untuk mengelola pendidikan sesuia dengan potensi dan kebutuhan daerahnya;
perubahan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan efisiensi serta
efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah;
kepegawaian yang menyangkut perubahan dan pemberdayaan sumber daya manusia ynag
menekankan pada profesionalisme; serta perubahan anggaran-anggaran pembangunan
pendidikan (DIP) yang dikelola langsung dari BKPN (Bappenas) ke kabupaten dalam
bentuk block grand sehingga menhilangkan ketakutan dan pngotakkan dalam
penanganan anggaran (BPPN dan Bank Dunia, 1999).
Desentralisasi pengelolaan sekolah
perlu diletakkan dalam rangka mengisi kebhinekaan dalam wadah negara kesatuan
yang dijiwai oleh rasa persatuan dan kesatuan bangsa; bukan berdasarkan
kepentingan kelompok dan daerah secara sempit. Pelaksanaan desentralisasi dalam
pengelolaan sekolah memerlukan kesiapan berbagai perangkat pendukung di daerah.
Sedikitnya terdapat empat hal yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan
desentralisasi berhasil, yaitu:
a.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur
desenralisasi pendidikan dari tingkat daerah, provinsi sampai tingkat
kelembagaan.
b.
Pembinaan kemampuan daerah.
c.
Pebentukan perencanaan unit yang bertanggung jawab
untuk menyusun perencanaan penddikan.
d.
Perangkat sosial, berupa kesiapan masyarakat setempat
untuk menerima dan membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan
desentralisasi tersebut.
Dari beberapa pengalaman di negara
lain, kegagalan desentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :
a.
Masa transisi dari sistem sentralisasi ke
desentralisasi memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak
memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
b.
Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara
pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
c.
Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
d.
Sumber daya manusia yang belum memadai.
e.
Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
f.
Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
g.
Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk
kehilangan otoritasnya.
Selain dampak negatif tentu saja
desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilannya antara lain :
a.
Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan
demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
b.
Mampu membangun partisipasi masyarakat sehingga
melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan
untuk masyarakat.
c.
Mampu menyelenggarakan pendidikan dengan memfasilitasi
proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan
kualitas belajar siswa.
C.
Kekuatan dan Kelemahan Sentralisasi Pendidikan
Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial
budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada
negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba
seragam, seba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat
tingkat relevansinya bai kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya,posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek
agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai
dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah
melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti :
1.
Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan
2.
Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan,
pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
3.
Keseragaman pola pembudayaan masyarakat.
4.
Melemahnya kebudayaan daerah.
5.
Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan
kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak
sistem pendidikan sentralistik, makaupaya mewujudkan pendidikan yang dapat
melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan
masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh
inisiatif dan impati, memeliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai
bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.
D.
Kekuatan dan Kelemahan Desentralisasi Pendidikan
Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan disentralisasi di
akibatkan oleh beberapa hal, yaitu :
1.
Masa transisi dari sistem sentralisasi ke
desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak
memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2.
Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara
pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
3.
Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
4.
Sumber daya manusia yang belum memadai.
5.
Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
6.
Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
7.
Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk
kehiulangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan
disentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru,
diantaranya :
1.
Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara
daerah,antar sekolah antar individu warga masyarakat.
2.
Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat
(orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu
sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga
kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.
3.
Biaya administrasi di sekolah meningkat karena
prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru
didistribusikan ke sekolah.
4.
Kebijakan pemerintah daerah yang tidak
memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotendsi akan menurunkan
pendidikan.
5.
Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu
memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya
akan menurunkan mutu pendidikan.
6.
Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di
karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan
mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
7.
Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan
pendidikan dari pusat ke daerah.
Untuk mengantisipasi munculnya
permasalahan tersebut di atas, disentralisasi pendidikan dalam pelaksanaannya
harus bersikap hati-hati. Ketepatan strategi yang ditempuh sangat menentukan
tingkat efektifitas implementasi disentralisasi. Untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan buruk tersebut ada beberapa hal yang perlu di perhatikan :
1. Adanya
jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana
pemersatu bangsa.
2. Masa transisi
benar-benar di gunakan untuk menyiapkan berbagai halyang dilakukan secara
garnual dan di jadwalkan setepat mungkin.
3. Adanya
kometmen dari pemerintah daerah terhadappendidikan, terutama dalam pendanaan
pendidikan.
4. Adanya
kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah
dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
5. Pemahaman
pemerintah daerah maupunDPRD terhadap keunikan dan keberagaman sistem
pengelolaan pendidikan, dimana sistem pengelolaan pendidikan tidak sama dengan
pengelolaan pendidikan daerah lainnya.
6. Adanya
kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan
tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan
aparat birokrat lainnya.
7. Adanya
keiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas
kewenangannya pada pemerintah kabupaten / kota.
Selain dampak negatif tentu saja
disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :
1.
Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan
demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
2.
Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga
melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar0benar dari oleh dan
untuk masyarakat.
3.
Mampu menyelenggarakan pendidikan secara menfasilitasi
proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan
kualitas belajar siswa.